Penyebab Rendahnya Kemampuan Membaca Siswa



LATAR BELAKANG

Pesatnya perkembangan teknologi informasi saat ini memungkinkan setiap orang mendapatkan akses informasi yang diinginkannya. Agar perkembangan informasi yang ada dapat senantiasa tertampung, minat dan kemampuan membaca menjadi sangat penting. Sebagai ilustrasi, Theodore Roosevelt membaca tiga buku dalam sehari selama di Gedung Putih dan John F. Kennedy mempunyai kecepatan membaca 1.000 kpm (kata per menit) (Soedarso, 1993:xiii). Bangsa yang maju umumnya adalah bangsa yang gemar membaca, umpamanya bangsa Jepang, Amerika dan beberapa negara Eropa lainnya. Mereka pun memiliki karya-karya besar yang kreatif, umpamanya bermacam jenis mobil dari Eropa dan Amerika, komputer ataupun telepon canggih dari Jepang (Rifameutia, 2003).

Menurut laporan Bank Dunia No. 16369-IND dan studi IAEA (International Achievement Education Association) tahun 1992 di Asia Timur, tingkat terendah membaca anak-anak dipegang oleh Indonesia dengan skor 51,7, di bawah Filipina (skor 52,6), Thailand (skor 65,1), Singapura (skor 74,0) dan Hongkong (skor 75,5). Bukan itu saja, kemampuan anak-anak Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanya 30 persen. Data lain juga menyebutkan, seperti yang ditulis oleh Ki Supriyoko ( dikutip Yardi, 2003), disebutkan dalam dokumen UNDP dalam Human Development Report 2000, bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen. Sementara Malaysia sudah mencapai 86,4 persen, dan negara-negara maju seperti Australia, Jepang, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat umumnya sudah mencapai 99,0 persen.

Menurut Masduki (1997: 36) faktor penyebab rendahnya kemampuan membaca siswa Indonesia sebagaimana yang telah diuraikan tersebut di atas antara lain: 1) kemampuan berbahasa Indonesia yang kurang, 2) minat baca yang lemah, 3) kondisi perpustakaan sekolah yang kurang menunjang, dan 4) dorongan orangtua yang juga lemah. Ketertinggalan Indonesia dibandingkan dengan bangsa lain dapat diakibatkan karena kekurangan membaca. Bayangkan, Indonesia yang jumlah penduduknya mencapai lebih dari 200 juta jiwa, hanya menerbitkan sekitar 6000 judul buku yang terbit setiap tahunnya. Sementara itu, Malaysia menerbitkan 10.000 judul setiap tahunnya. Bandingkan dengan Jepang yang menerbitkan sebanyak 44.000 judul, Amerika Serikat 100.000 judul dan Inggris 61.000 judul (Utama, 2003).

Jika dibandingkan dengan masyarakat Barat dan Jepang, minat dan kebiasaan membaca masyarakat Indonesia memang relatif lebih rendah. Menurut Tampubolon (1993:v), masyarakat Indonesia umumnya masih berada dalam proses transisi dari budaya lisan ke budaya tulisan. Kebiasaan membaca dan menulis masih belum berkembang sepenuhnya pada anggota-anggota masyarakat. Kecenderungan mendapatkan informasi melalui percakapan (dengan lisan) tampaknya masih lebih kuat daripada melalui bacaan (dengan tulisan). Kecenderungan ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa minat baca di kalangan siswa dan mahasiswa relatif masih lemah. Anjuran yang sering terdengar dari pihak pemerintah dan berbagai kalangan pemimpin masyarakat untuk meningkatkan minat dan kebiasaan membaca adalah juga merupakan bukti kecenderungan di atas.

Minat dan kebiasaan membaca yang baik menurut Tampubolon (1993: v), sebagai bagian penting dari budaya tulisan, tak mungkin dimiliki dalam waktu singkat. Pengembangannya makan waktu yang relatif lama, dan harus sejalan dengan perkembangan pendidikan para anggota masyarakat pada umumnya. Di samping itu, sarana-sarana pendukung, terutama tersedianya buku-buku bacaan yang harganya terjangkau oleh masyarakat umumnya, dan perpustakaan-perpustakaan di semua tingkatan daerah, terutama di kecamatan dan desa, sangat perlu diusahakan. Dalam hubungan tersedianya buku-buku bacaan dimaksud, motivasi untuk menulis (mengarang) bagi para penulis buku perlu diperhatikan, khususnya berupa royalti yang pantas dan diberikan sepenuhnya pada waktunya, serta pelaksanaan Undang-undang Hak Cipta yang ketat dan tegas.

Pengembangan minat dan kebiasaan membaca yang baik harus dimulai sedini mungkin pada masa anak-anak. Orang tua, terutama ibu, dan guru-guru, terutama guru Kelompok Bermain, Taman Kanak-kanak, dan Sekolah Dasar kelas satu hingga kelas tiga, mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam usaha-usaha pengembangan ini. Pengembangan minat dan kebiasaan membaca harus dimulai dari rumah (Tampubolon, 1993: v-vi). Sementara sekolah berkewajiban untuk membina minat dan kebiasaan membaca yang telah dikembangkan di rumah.

Telah diuraikan di atas bahwa pengembangan minat dan kebiasaan membaca harus dimulai sedini mungkin. Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dikenal anak. Sebagian besar waktunya dihabiskan bersama keluarga. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika anggota keluarga merupakan orang yang paling berarti bagi kehidupan anak. Maka jelas keluarga mempunyai peranan yang besar dalam pembentukan minat baca (Martini, 1995:3).

Dalam berbagai hasil penelitian, kegiatan membaca anak dan remaja antara lain sangat dipengaruhi oleh keteraksesan mereka terhadap bahan bacaan. Menurut Grey (1980) dan Morrow (1998), dikutip oleh Diem (2000:25) akses terhadap bahan bacaan telah dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan yang akhirnya akan melahirkan anak dan remaja yang berpenampilan tinggi dalam berbagai prestasi bidang ilmu di sekolahnya masing-masing.

Menurut Krashen (1996) dikutip oleh Diem (2000:27) akses tidak hanya berarti ketersediaan buku-buku dan berbagai bahan cetak lainnya, tetapi juga waktu yang tersedia bagi siswa untuk membaca termasuk penyediaan tempat yang tenang dan menyenangkan untuk membaca. Oleh karena itu, waktu untuk membaca secara mandiri (bebas) perlu disediakan secara periodik.

Pengertian lainnya tentang akses terhadap bahan bacaan adalah pustakawan dan guru yang mempunyai pengetahuan yang cukup tentang anak dan remaja serta tentang buku dan bahan bacaan lainnya. Mereka adalah orang-orang yang harus dapat memberikan rekomendasi tentang isi bahan bacaan yang sesuai dengan minat anak. Anak dan remaja akan menjadi pembaca yang mahir apabila mereka mendapat kesempatan melakukan aktivitas membaca. Tanpa akses terhadap kepustakaan yang tepat, mereka hanya dapat membaca tetapi kebiasaan membacanya tidak akan berkembang (Diem, 2000:27).

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama